Thursday, 2 January 2014

Identifikasi Budaya Individu (Budaya Cirebon)




Vina Andriyanah, lahir di Cirebon 13 Januari 1995. Bertempat tinggal di Jawa Barat, tepatnya di Kp. Pabrik, Ds. Setiadarma RT 02/01 No.39 daerah Tambun – Bekasi bersama kedua orang tua. Saya adalah anak pertama dari dua bersaudara. Beragama Islam.
Pernah bersekolah di TK Dinamika pada tahun 1999. melanjutkan kejenjang sekolah dasar di SD Negri Tambun 01 pada tahun 2000-2006. Pada tahun 2007-2009 bersekolah di MTs Negeri Bantargebang. Melanjutkan ke SMK Karya Bhakti dan mendapat jurusan akuntansi. Saya memutuskan untuk bersekolah di SMK karna SMK memiliki nilai plus yaitu bisa merasakan bagaimana dunia kerja.  Terjun langsung di lapangan dan bisa melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kegiatan sekarang saya sebagai mahasiswi prodi Bimbingan dan konseling di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)  Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka.
Saya tidak bisa berdiri sendiri, selama ini ada orang-orang hebat dalam hidup saya. Kedua orang tua, merekalah yang memberikan semangat, pengarahan, pengorbanan secara materi dan non materi. Setelah lulus SMK saya mencoba untuk mencari pekerjaan dan akhirnya diterima bekerja di sebuah perusahaan kecil yaitu perusahan kertas yang gajinya tidak seberapa tetapi disitu saya bisa merasakan bagaimana menghargai waktu, tenaga dan uang tentunya. Saya tidak bertahan lama bekerja di perusahaan tersebut hanya satu bulan saja.
Kemudian, saya mencari pengalaman kehidupan dibidang lain yaitu mengajar les dan ikut dengan tante saya ( adik dari mamah ) mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Cirebon, tempat kelahiran saya. Disitulah saya lebih mantap untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Untuk menggapai salah satu cita-cita saya menjadi guru SLB (Sekolah Luar Biasa). Cita-cita tersebut datang dengan sendirinya. Dengan cinta, kasih sayang, dan kebahagiaan yang tak terhingga saya membantu mengajar di SLB Bina Mandiri. Sebuah pengalaman yang wah, tapi saya belum puas sampai disitu saja. Keinginan untuk mengambil prodi Pendidikan Luar Biasa di universitas negeri gagal, karna saya tidak diterima pada tes SNMPTN dan UM disalah satu Universitas Negeri. Ada pepatah mengatakan kesuksesan itu tidak hanya dengan satu pintu saja. Dan akhirnya saya mengambil prodi Bimbingan Konseling dengan harapan saya masih bisa menjadi guru SLB walaupun nantinya tidak, tapi saya yakin Allah pasti memberikan yang terbaik.
Selain pendidikan formal saya juga di berikan pendidikan nonformal oleh kedua orang tua, yaitu pembekalan ilmu agama sejak  dini. Kedua orang tua saya bukanlah seseorang yang memiliki nama atau jabatan yang tinggi. Mereka ingin anaknya lebih dari mereka, ya..orang tua mana yang tidak ingin anaknya sukses. Papah saya hanyalah seorang karyawan suasta yang bekerja di PT, beliau anak ke lima dari tujuh bersaudara yang berasal dari Kediri, Jawa Timur. Dibesarkan dengan adat jawa yang masyarakatnya berpencaharian sebagai petani, dengan usaha dan kerja keras kakek dan nenek saya sebagai petani, Alhamdulillah papah saya bertamatan SLTA dan setelah itu marantau ke Jakarta menjadi tukang bakso keliling dan akhirnya bekerja di Perusahaan suasta. Mamah saya adalah anak pertama dari lima bersaudara. Beda dengan papah yang bertamatan SLTA mamah saya hanya bertamatan SLTP itu karena keluarga mamah yang berasal dari keluarga yang kurang, tapi dengan kekurangan itu mamah saya mempunyai ambisi yang besar untuk lebih maju mengubah kehidupannya menjadi lebih baik, “biarlah mamah saja yang tidak merasakan sekolah SLTA dn seterusnya, tapi adik-adik dan anak - anak mamah harus bisa merasakan pendidikan yang lebih tinggi.”  Begitulah kata mamah. Ya, mamah adalah seorang wanita yang kuat dan hebat dia berusaha keras untuk menyekolahkan adik-adik dan anak-anaknya sampai sekolah setinggi-tingginya. Dari kedua pengalaman hidup kedua orang tua saya itulah yang membuat saya mempunyai semangat dalam hidup, menggapai keinginan dan cita-cita kedua orang tua dan membuat mereka bangga. Sampai saya berani membuat motto hidup seperti “Bisa, Yakin Bisa, Pasti Bisa, Harus Bisa, InsyaAllah setiap perjuangan adalah kemenangan.” dan saya belajar dari motto kedua orang tua saya yaitu “manusia tanpa ambisi bagaikan burung tanpa sayap”.
Kedua orang tua saya sangat mementingkan ilmu pendidikan dari pendidikan sekolah, agama, keluarga dan lingkungan. Dari kecil saya sudah di kenalkan kemandirian, bertanggung jawab, bersosialisasi, dengan cara memperbolehkan saya mengikuti kegiatan organisasi di sekolah sejak SD sampai sekarang. Mengajarkan arti kehidupan dan rasa syukur dengan cara hidup mandiri (tidak dimanjakan), bercerita tentang kehidupan kedua orang tua saya saat dulu, dan sebagainya. itulah cara kedua orang tua saya mengajarkan saya dan adik saya. Saya mempunyai satu adik perempuan yang sekarang menginjak Sekolah Dasar kelas 5. Namanya Eriza Silviani. Adik saya pun sama selain disekolahkan juga di beri ilmu agama dari kecil. Kami juga diajarkan cara mengasihi dan menyayangi sesama saudara, saling membantu dan menompang bila salah satu ada yang kesulitan. Kedua orang tua saya slalu membawa saya dalam masalah keluarga, bukan untuk ikut campur tapi sebagai pengalaman secara tidak langsung, mengambil hikmah dari suatu permasalahan tersebut dan cara agar masalah itu tidak terulang.
Kedua orang tua saya berasal dari budaya yang berbeda. Papah saya berasal dari Kediri, Jawa Timur dan mamah dari Cirebon, Jawa Barat. Keduanya menikah di Cirebon, Jawa Barat sampai akhirnya lahirlah saya di kota tersebut. Saya dibesarkan di Cirebon tapi hanya sampai berumur 3 tahun kemudian pindah ke bekasi untuk bersekolah. Jadi kenangan atau pengalaman saya dicirebon samar-samar. Saya merasa saya dibesarkan dalam pola asuh budaya Cirebon, walaupun saya hanya beberapa tahun disana, tetapi jika libur sekolah saya lebih sering berkunjung ke Cirebon dari pada ke Kediri karna salah satu alasan yaitu biaya ongkos yang mahal dan perjalannanya juga jauh.
Sebelum saya disekolahkan di bekasi saya di beri pendidikan agama di Cirebon, saya mengikuti pengajian / TPA. Memang di kampung saya dahulu masih mengutamakan pendidikan agama dari pada pendidikan di sekolah.  Masyarakat Cirebon memang memiliki agama yang sangat kuat karna Cirebon adalah kota nya para wali. Disana masih mengenal pamali, contoh anak kecil tidak boleh keluar magrib-magrib, ibu-ibu tidak boleh menyapu dimalam hari, anak kecil yang habis dari kuburan harus cuci muka, dan ketika kakek saya meninggal saya harus berjalan dibawah kerandanya entah apa alasannya sampai sekarang pun saya tidak tahu.



Budaya Individu


1.  System bahasa

Di dalam system budaya komunikasi masyarakat Cirebon, bahasa Cirebon merupakan campur aduk antara bahasa sunda dan jawa.Hal ini terjadi lebih merupakan sebagai akibat logis dari posisi Cirebon yang secara geografis berada pada wilayah perbatasan antara Jawa Barat dengan Jawa Tengah.
Secara linguistis, bahasa Cirebon merupakan bahasa jawa. Memang ada kesan usaha “penghilangan” identitas kejawaan dalam bahasa dan masyarakat Cirebon. Atau mungkin Cirebon ingin memilki bahasa khas sendiri .Masyarakat Cirebon relative tidak memiliki beban fultural untuk menerima hal-hal baru, yang asing sekalipun lalu mereka beradaptasi menurut kebutuhan mereka sendir. Bahasa Cirebon tidak alergi terhadap ekspresi sunda dan begitu sebaliknya. Sehingga jangan heran jika masyarakat Cirebon bisa berbicara dalam dua bahasa yaitu jawa dan sunda.

Menurut penelitian dialektologis yang dilakukan tim peneliti dari balai bahasa Bandung, bahasa jawa di Jawa Barat terbagi atas tiga dialeg. Dalam bahasa yang dituturkan orang Cirebon walaupun lebih banyak mengandung bahasa jawa dan sunda tetapi juga campuran dari bahasa arab dan cina. Karna dilihat lagi dari letak geografis kota Cirebon yang sangat strategis untuk usaha perdagangan maka juga banyak pedagang yang berasal dari arab dan cina.

Cirebon tidak memiliki perbandingan yang kuat yaitu bahasa jawa apalagi dibandingkan dengan bahasa melayu, betawi dan sunda, Cirebon memang berbeda.Tapi dalam zaman yang modern ini lebih banyak masyarakat Cirebon menggunakan bahasa Indonesia.Mungkin karna telah banyaknya masyarakat yang merantau ke luar daerah Cirebon sehingga ketika pulang ke Cirebon mereka sudah terbiasa berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Dan atau mungkin karna banyaknya pendatang dari luar daerah Cirebon ke Cirebon, karna mereka tidak bisa berbahasa Cirebon / tidak bisa berkomunikasi dengan baik maka mereka memakai bahasa Indonesia.

2.  System pengetahuan

Masyarakat Cirebon dahulu mempercayai yang dibawa nenek moyang mereka. Percaya pada benda-benda yang ghaib, mitos-mitos dan petuah-petuah zaman dulu. Misalnya anak gadis yang tidak boleh duduk didepan pintu karna akan menghambat jodohnya, dsb. Tetapi mitos-mitos tersebut masih diyakini oleh beberapa penduduk cirebon. Tetapi ketika kemajuan teknologi dan modernisasi mulai diperkenalkan di Cirebon, masyarakat Cirebon mulai berfikir dewasa dalam arti lebih kritis dan rasional, sehingga banyak yang sudah tidak meyakini mitos-mitos nenek moyang tersebut.

Pembangunan dibidang kesehatan, ketersediaan fasilitas kesehatan dalam jumlah yang cukup dan layak sangat penting di dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Namun minimnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya sebuah kesehatan khususnya untuk ibu-ibu yang melahirkan, masih banyak masyarakat yang menggunakan dukun atau mantri untuk membantu proses kelahiran maupun pengobatan. Mereka biasanya pergi ke dukun karena tradisi lingkungan masyarakat mereka masih meyakini hal-hal spiritual seperti itu, ataupun karena faktor keterjangkauan sangat sulit bagi mereka untuk rumah sakit karena bertempat tinggal dipinggiran hutan. Padahal pemerintah telah menggalakkan agar proses kelahiran haruslah di bidan. Mungkin ini terjadi akibat keterbatasan pengetahuan masyarakat Cirebon dan tradisi orang-orang zaman dahulu . kemudian faktor ekonomi yang paling utama, mahalnya bidan membuat sebagian masyarakat lebih memilih kedukun dari pada ke bidan, apalagi sekarang bidan lebih banyak menyarankan untuk operasi sesar dengan berbagai macam alasan. Masyarakat Cirebon juga masih banyak menggunakan pengobatan alternative atau obat-obatan tradisional.

Pengetahuan dalam dunia pendidikan juga masih kurang untuk daerah Cirebon, pada zaman dulu Cirebon lebih mengutamakan pendidikan agama dan tidak terlalau mementingkan pendidikan formal. Tapi, sekarang pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas pendidikan dalam jumlah yang cukup dan layak. Dari mulai TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA, sampai universitas sudah tersedia. Sampai sekarang pemerintah Cirebon sedang menggalakan sekolah berbasis Internasional.

Seiring perkembangan zaman kini masyarakat cirebon mulai sadar akan kemajuan teknologi dan sains
Pengetahuan tentang teknologi sekarang pun sudah merajalela, internet pun sekarang mudah diakses walaupun tidak sepenuhnya di seluruh pelosok Cirebon. Hal ini memudahkan generasi muda untuk mengetahui dunia di luar lingkup Cirebon.

3.  Sistem kekrabatan

Karna masyarakat Cirebon adalah masyarakat pesisir yang banyak pendatang dari berbagai daerah  baik lokal maupun internasional dan melakukan kegiatan dan hubungan dagang. Jadi mereka yang datang dari mancanegara biasanya membentuk kampung-kampung sendiri dan kampung tersebut pun diberi nama tersendiri berdasarkan negaranya masing-masing. Dari cerita ini walaupun mereka terkesan seperti memisahkan diri tetapi sebenarnya mereka saling membaur dengan masyarakat lokal cirebon dengan cara menikahi orang pribumi. Masyarakat tidak mengenal perbedaan suku atau daerah mana. Mereka terbuka dengan perbedaan tersebut. Buktinya sampai sekarang kampung-kampung tersebut masih ada contoh, kampung arab, kampung cina dsb. Mereka menjalin kekerabatan dengan baik tidak hanya dengan sesama masyarakat Cirebon tetapi juga dari pendatang. Saling menghormati dan menghargai itulah kunci kekerabatan yang sampai sekarang masih terjalin dengan baik.

Dalam hal pernikahan kebanyakan masyarakat Cirebon lebih menginginkan untuk menikah dengan orang luar jawa barat. Dengan alasan, menurut mereka orang jawa adalah orang yang pekerja keras dan sayang dengan keluarga. Kekerabatan dalam rukun tetangga juga terjalin dengan harmonis. Dibuktikan apabila ada suatu perayaan mereka merayakan dengan suka cita dan hal yang baru agar tidak membosankan.  

4.  Sistem Peralatan Hidup

Sekarang sudah banyak rumah-rumah yang memakai bahan material modern. Sudah banyak rumah yang layak untuk disinggahi. Tetapi walau cover (rumah) mereka sudah modern, kebanyakan peralatan yang masyarakat Cirebon gunakan masih menggunakan alat tradisional. Misalnya dalam memasak nasi tidak memakai mekjijer, menyimpan air dalam guci, menyimpan beras dalam guci, dsb. Sistem peralatan hidup bagi masyarakat agraris misalnya petani dan nelayan. Mereka cenderung menetap didaerah tempat tinggalnya, teknologi yang digunakan sudah cukup ada sentuhan dari bantuan pemerintah Cirebon memfasilitasi para petani dalam menggunakan traktor dan pembagian benih atau bibit secara gratis. Untuk masyarakat nelayan sendiri mendapat bantuan bahan bakar yang digunakan untuk nelayan mencari ikan. Tetapi masih ada masyarakat yang menggunakan cara tradisional, mereka cenderung melestarikan cara manusal atau tradisional yang turun temurun dilakukan semenjak masa nenek moyangnya.


5.  Sistem Mata Pencaharian

Perekonomian kota Cirebon di pengaruhi oleh letak geografis yang strategis dan karakteristik sumber daya alam sehingga struktur perekonomiannya didominasi oleh sector industry pengolahan, sector perdagangan, hotel, dan restoran, sector pengangkutan dan komunikasi serta sector jasa. Di daerah pesisir selatan cirebon, masyarakatnya bermatapencaharian sebagai nelayan, penambang batu bara, sebagai awak kapal, dan sebagainya.Di daerah pegunungan atau daerah kabupaten masyarakat bermata pencaharian sebagai petani, baik petani padi, ladang sayur maupun buah.

Di pusat kota sudah banyak pedagang kaki lima. Kelegkapan prasarana dan sarana dasar kota Cirebon menjadi salah satu andalan bagi para investor dalam memilih kota Cirebon sebagai tujuan utama penanaman modal di wilayah Jawa Barat bagian timur atau untuk membuka cabang yang melayani Jawa Barat bagian Timur. Kondisi ini menarik pula penduduk atau masyarakat luar kota.  Cirebon tergolong ke dalam kategori daerah yang cukup cepat bertranformasi dari tatanan ekonomi tradisional yang bertumpu pada sector yang mengandalkan nilai tambah sumber daya manusia seperti industry pengolahan, perdagangan dan jasa. Pertumbuhan jumlah perusahaan di kota Cirebon dari tahun ketahun mengalami peningktan, hal ini bermplikasi pada pertambahan lapangan kerja bagi masyarakatnya. Selain itu masyarakat cirebon kota bermata pencaharian sebagai Pegawai Negri Sipil. Banyak masyarakat Cirebon yang berusaha merantau ke luar Cirebon khususnya ke Jakarta.

6.  Sistem religi atau kepercayaan

Masyarakat Cirebon memiliki watak keagamaan yang relatif cukup taat, maka pesan-pesan agama pun kerap membingkai kebudayaan Cirebon sendiri. Cirebon sebagai daerah pantau Utara pulau Jawa bagian Barat dalam konteks sejarahnya terbukti mampu melahirkan kebudayaan yang berangkat dari nilai tradisi dan agama.

Sebagai kota pelabuhan dagang yang banyak disinggahi pedagang asing, kota Cirebon tidak lepas menerima kedatangan masyarakat luar termasuk Tionghoa. Di Cirebon masyarakat tionghoa tampak sudah sehak lama datang dan selanjutnya bermukim, sehingga secara tidak langsung mereka juga menyiarkan agama mereka di Cirebon. Terbukti terdapat beberapa klenteng sebagai tempat peribadatan masyarakat orang Tionghoa penganut Buddhis.

Selain  masyarakat cirebon yang di sekitar kraton kesepuluh beragama Islam, dan masih percaya terhadap mittos dan lebih memiliki nuansa spiritual dengan masuknya pesan-pesan ajaran agama. Unsur-unsur agama Cirebon mengiringi kesenian (kebudayaan cirebon dalam kaitan ini kesenian yang pada mulanya merupakan sarana dakwah agama Islam) menjadi semacam oase di padang gurun. Masuknya doa-doa yang bersumber dari ajaran Islam manakala masyarakat cirebon melakukan ritual budaya mitoni (upacara kehamilan tujuh bulan anak pertama). Begitu pula kebiasaan dalang wayang kulit Cirebon menyisipkan hadis Nabi Muhammad, bahkan ayat Suci Al-Qur’an ketika mendalang. Sebuah kolaborasi menarik antara nilai kultur dengan nilai agama

Kebudayaan lokal yang hidup sebelum kedatangan selain agama islam juga ada dari cina ini juga terbuktu dari lamabang naga yang menjadi khas kebudayaan cina yang terdapat pada kereta pusaka, motif hiasan panji dan batik yang bermotif naga. Arsitek bangunan masjid mendapat pengaruh dan perpaduan antara Hindu dan Islam. Tetapi secara keseluruhan notabane masyarakat Cirebon menganut agama Islam.

7.  Sistem Kesenian

Cirebon termasuk daerah yang juga memiliki banyak kesenian.
a.  Tarling merupakan kesenian khas dari wilayah Jawa Barat (jatibarang.Indramayu-Cirebon dan sekitarnya. Bentuk kesenian ini pada dasarnya adalah pertunjukan musik, namun disertai deengan drama pendek. Selanjutnya akibat tuntutan konsumenya sendiri, lagu-lagu tarling dicampur dengan perangkat musik elektronik sehingga terbentuk grup-grup oragan tunggal tarling organ. Pada saat ini, tarling sudah sangat jarang dipertunjukakan dan tidak populer. Tarling dangdut lebih tepat disebut dangdut Cirebon.
b.  Sintren adalah salah satu tradisi lama rakyat pesisirsn psntsi utara (pantura) Jawa Barat, tepatnya di Cirebon. Kesenian ini kini menjadi sebuah pertunjukan yang langka bahkan di daerah kelahiran Sintren sendiri. Sintren dalam perkembangannya kini, paling-paling hanya dapat dinikmati setiap tahun sekali pada upacara-upacara kelautan selain nadran, atau pada hajatan-hajatan orang gedean. Setiap diadakan pertunjukan Sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan).
c.  Tari topeng adalah salah satu tari tradisional yang ada di Cirebon. Tari ini dinamakan tari topeng karna ketika beraksi sang penari memakai topeng untuk menutupi wajahnya. Tari topeng diciptakan oleh sultan Cirebon untuk melawan kesaktian Pangeran Welang.
d.  Seni gembyung merupakan slaah satu kesenian peninggalan para wali di Cirebon. Seni ini merupakan pengembangan dari kesenian Terbang yang hidup di lingkungan pesantren. Konon seperti halnya kesenian terbang , gembyung digunakan para wali sebagai media untuk menyebarkan agama Islam seperti kegiatan acara Maulid Nabi, Rajaban, dan kegiatan 1 syuro yang digelar di sekitar tempat ibadah. Untuk pastinya kapan kesenian ini mulai berkembang di Cirebon tak ada yang tahu pasti. Gembyung merupakan jenis musik ensambel yang didominasi oleh alat musik yang disebut wadrita.
e.  Lukisan kaca konon dikenal sejak abad ke 17 masehi, bersamaan dengan perkembanganya agama Islam di Pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Penambahan Ratu di Cirebon, Lukisan kaca sangat terkenal sebagai media dakwah berupa lukisan Kaca Kaligrafi dan Lukisan Kaca Wayang.

No comments:

Post a Comment