Vina
Andriyanah, lahir di Cirebon 13 Januari 1995. Bertempat tinggal di Jawa Barat,
tepatnya di Kp. Pabrik, Ds. Setiadarma RT 02/01 No.39 daerah Tambun – Bekasi
bersama kedua orang tua. Saya adalah anak pertama dari dua bersaudara. Beragama
Islam.
Pernah
bersekolah di TK Dinamika pada tahun 1999. melanjutkan kejenjang sekolah dasar
di SD Negri Tambun 01 pada tahun 2000-2006. Pada tahun 2007-2009 bersekolah di
MTs Negeri Bantargebang. Melanjutkan ke SMK Karya Bhakti dan mendapat jurusan
akuntansi. Saya memutuskan untuk bersekolah di SMK karna SMK memiliki nilai
plus yaitu bisa merasakan bagaimana dunia kerja. Terjun langsung di lapangan dan bisa
melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kegiatan sekarang saya sebagai
mahasiswi prodi Bimbingan dan konseling di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP) Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka.
Saya tidak bisa
berdiri sendiri, selama ini ada orang-orang hebat dalam hidup saya. Kedua orang
tua, merekalah yang memberikan semangat, pengarahan, pengorbanan secara materi
dan non materi. Setelah lulus SMK saya mencoba untuk mencari pekerjaan dan
akhirnya diterima bekerja di sebuah perusahaan kecil yaitu perusahan kertas
yang gajinya tidak seberapa tetapi disitu saya bisa merasakan bagaimana
menghargai waktu, tenaga dan uang tentunya. Saya tidak bertahan lama bekerja di
perusahaan tersebut hanya satu bulan saja.
Kemudian, saya
mencari pengalaman kehidupan dibidang lain yaitu mengajar les dan ikut dengan
tante saya ( adik dari mamah ) mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Cirebon,
tempat kelahiran saya. Disitulah saya lebih mantap untuk melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Untuk menggapai salah satu cita-cita saya menjadi
guru SLB (Sekolah Luar Biasa). Cita-cita tersebut datang dengan sendirinya.
Dengan cinta, kasih sayang, dan kebahagiaan yang tak terhingga saya membantu
mengajar di SLB Bina Mandiri. Sebuah pengalaman yang wah, tapi saya belum puas
sampai disitu saja. Keinginan untuk mengambil prodi Pendidikan Luar Biasa di
universitas negeri gagal, karna saya tidak diterima pada tes SNMPTN dan UM
disalah satu Universitas Negeri. Ada pepatah mengatakan kesuksesan itu tidak
hanya dengan satu pintu saja. Dan akhirnya saya mengambil prodi Bimbingan
Konseling dengan harapan saya masih bisa menjadi guru SLB walaupun nantinya
tidak, tapi saya yakin Allah pasti memberikan yang terbaik.
Selain
pendidikan formal saya juga di berikan pendidikan nonformal oleh kedua orang
tua, yaitu pembekalan ilmu agama sejak
dini. Kedua orang tua saya bukanlah seseorang yang memiliki nama atau
jabatan yang tinggi. Mereka ingin anaknya lebih dari mereka, ya..orang tua mana
yang tidak ingin anaknya sukses. Papah saya hanyalah seorang karyawan suasta
yang bekerja di PT, beliau anak ke lima dari tujuh bersaudara yang berasal dari
Kediri, Jawa Timur. Dibesarkan dengan adat jawa yang masyarakatnya
berpencaharian sebagai petani, dengan usaha dan kerja keras kakek dan nenek
saya sebagai petani, Alhamdulillah papah saya bertamatan SLTA dan setelah itu
marantau ke Jakarta menjadi tukang bakso keliling dan akhirnya bekerja di
Perusahaan suasta. Mamah saya adalah anak pertama dari lima bersaudara. Beda
dengan papah yang bertamatan SLTA mamah saya hanya bertamatan SLTP itu karena
keluarga mamah yang berasal dari keluarga yang kurang, tapi dengan kekurangan
itu mamah saya mempunyai ambisi yang besar untuk lebih maju mengubah
kehidupannya menjadi lebih baik, “biarlah mamah saja yang tidak merasakan
sekolah SLTA dn seterusnya, tapi adik-adik dan anak - anak mamah harus bisa
merasakan pendidikan yang lebih tinggi.” Begitulah kata mamah. Ya, mamah adalah seorang
wanita yang kuat dan hebat dia berusaha keras untuk menyekolahkan adik-adik dan
anak-anaknya sampai sekolah setinggi-tingginya. Dari kedua pengalaman hidup
kedua orang tua saya itulah yang membuat saya mempunyai semangat dalam hidup,
menggapai keinginan dan cita-cita kedua orang tua dan membuat mereka bangga.
Sampai saya berani membuat motto hidup seperti “Bisa, Yakin Bisa, Pasti Bisa,
Harus Bisa, InsyaAllah setiap perjuangan adalah kemenangan.” dan saya belajar
dari motto kedua orang tua saya yaitu “manusia tanpa ambisi bagaikan burung
tanpa sayap”.
Kedua orang tua
saya sangat mementingkan ilmu pendidikan dari pendidikan sekolah, agama,
keluarga dan lingkungan. Dari kecil saya sudah di kenalkan kemandirian,
bertanggung jawab, bersosialisasi, dengan cara memperbolehkan saya mengikuti
kegiatan organisasi di sekolah sejak SD sampai sekarang. Mengajarkan arti
kehidupan dan rasa syukur dengan cara hidup mandiri (tidak dimanjakan),
bercerita tentang kehidupan kedua orang tua saya saat dulu, dan sebagainya.
itulah cara kedua orang tua saya mengajarkan saya dan adik saya. Saya mempunyai
satu adik perempuan yang sekarang menginjak Sekolah Dasar kelas 5. Namanya
Eriza Silviani. Adik saya pun sama selain disekolahkan juga di beri ilmu agama
dari kecil. Kami juga diajarkan cara mengasihi dan menyayangi sesama saudara,
saling membantu dan menompang bila salah satu ada yang kesulitan. Kedua orang
tua saya slalu membawa saya dalam masalah keluarga, bukan untuk ikut campur
tapi sebagai pengalaman secara tidak langsung, mengambil hikmah dari suatu
permasalahan tersebut dan cara agar masalah itu tidak terulang.
Kedua orang tua
saya berasal dari budaya yang berbeda. Papah saya berasal dari Kediri, Jawa
Timur dan mamah dari Cirebon, Jawa Barat. Keduanya menikah di Cirebon, Jawa
Barat sampai akhirnya lahirlah saya di kota tersebut. Saya dibesarkan di
Cirebon tapi hanya sampai berumur 3 tahun kemudian pindah ke bekasi untuk
bersekolah. Jadi kenangan atau pengalaman saya dicirebon samar-samar. Saya
merasa saya dibesarkan dalam pola asuh budaya Cirebon, walaupun saya hanya
beberapa tahun disana, tetapi jika libur sekolah saya lebih sering berkunjung
ke Cirebon dari pada ke Kediri karna salah satu alasan yaitu biaya ongkos yang
mahal dan perjalannanya juga jauh.
Sebelum saya
disekolahkan di bekasi saya di beri pendidikan agama di Cirebon, saya mengikuti
pengajian / TPA. Memang di kampung saya dahulu masih mengutamakan pendidikan
agama dari pada pendidikan di sekolah. Masyarakat Cirebon memang memiliki agama yang
sangat kuat karna Cirebon adalah kota nya para wali. Disana masih mengenal
pamali, contoh anak kecil tidak boleh keluar magrib-magrib, ibu-ibu tidak boleh
menyapu dimalam hari, anak kecil yang habis dari kuburan harus cuci muka, dan
ketika kakek saya meninggal saya harus berjalan dibawah kerandanya entah apa
alasannya sampai sekarang pun saya tidak tahu.
Budaya Individu
1. System bahasa
Di
dalam system budaya komunikasi masyarakat Cirebon, bahasa Cirebon merupakan
campur aduk antara bahasa sunda dan jawa.Hal ini terjadi lebih merupakan
sebagai akibat logis dari posisi Cirebon yang secara geografis berada pada
wilayah perbatasan antara Jawa Barat dengan Jawa Tengah.
Secara
linguistis, bahasa Cirebon merupakan bahasa jawa. Memang ada kesan usaha
“penghilangan” identitas kejawaan dalam bahasa dan masyarakat Cirebon. Atau
mungkin Cirebon ingin memilki bahasa khas sendiri .Masyarakat Cirebon relative
tidak memiliki beban fultural untuk menerima hal-hal baru, yang asing sekalipun
lalu mereka beradaptasi menurut kebutuhan mereka sendir. Bahasa Cirebon tidak
alergi terhadap ekspresi sunda dan begitu sebaliknya. Sehingga jangan heran
jika masyarakat Cirebon bisa berbicara dalam dua bahasa yaitu jawa dan sunda.
Menurut
penelitian dialektologis yang dilakukan tim peneliti dari balai bahasa Bandung,
bahasa jawa di Jawa Barat terbagi atas tiga dialeg. Dalam bahasa yang
dituturkan orang Cirebon walaupun lebih banyak mengandung bahasa jawa dan sunda
tetapi juga campuran dari bahasa arab dan cina. Karna dilihat lagi dari letak
geografis kota Cirebon yang sangat strategis untuk usaha perdagangan maka juga
banyak pedagang yang berasal dari arab dan cina.
Cirebon
tidak memiliki perbandingan yang kuat yaitu bahasa jawa apalagi dibandingkan
dengan bahasa melayu, betawi dan sunda, Cirebon memang berbeda.Tapi dalam zaman
yang modern ini lebih banyak masyarakat Cirebon menggunakan bahasa
Indonesia.Mungkin karna telah banyaknya masyarakat yang merantau ke luar daerah
Cirebon sehingga ketika pulang ke Cirebon mereka sudah terbiasa berbicara
menggunakan bahasa Indonesia. Dan atau mungkin karna banyaknya pendatang dari
luar daerah Cirebon ke Cirebon, karna mereka tidak bisa berbahasa Cirebon /
tidak bisa berkomunikasi dengan baik maka mereka memakai bahasa Indonesia.
2. System pengetahuan
Masyarakat
Cirebon dahulu mempercayai yang dibawa nenek moyang mereka. Percaya pada
benda-benda yang ghaib, mitos-mitos dan petuah-petuah zaman dulu. Misalnya anak
gadis yang tidak boleh duduk didepan pintu karna akan menghambat jodohnya, dsb.
Tetapi mitos-mitos tersebut masih diyakini oleh beberapa penduduk cirebon.
Tetapi ketika kemajuan teknologi dan modernisasi mulai diperkenalkan di
Cirebon, masyarakat Cirebon mulai berfikir dewasa dalam arti lebih kritis dan
rasional, sehingga banyak yang sudah tidak meyakini mitos-mitos nenek moyang tersebut.
Pembangunan
dibidang kesehatan, ketersediaan fasilitas kesehatan dalam jumlah yang cukup
dan layak sangat penting di dalam upaya peningkatan derajat kesehatan
masyarakat. Namun minimnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya sebuah
kesehatan khususnya untuk ibu-ibu yang melahirkan, masih banyak masyarakat yang
menggunakan dukun atau mantri untuk membantu proses kelahiran maupun
pengobatan. Mereka biasanya pergi ke dukun karena tradisi lingkungan masyarakat
mereka masih meyakini hal-hal spiritual seperti itu, ataupun karena faktor
keterjangkauan sangat sulit bagi mereka untuk rumah sakit karena bertempat
tinggal dipinggiran hutan. Padahal pemerintah telah menggalakkan agar proses
kelahiran haruslah di bidan. Mungkin ini terjadi akibat keterbatasan
pengetahuan masyarakat Cirebon dan tradisi orang-orang zaman dahulu . kemudian
faktor ekonomi yang paling utama, mahalnya bidan membuat sebagian masyarakat
lebih memilih kedukun dari pada ke bidan, apalagi sekarang bidan lebih banyak
menyarankan untuk operasi sesar dengan berbagai macam alasan. Masyarakat
Cirebon juga masih banyak menggunakan pengobatan alternative atau obat-obatan
tradisional.
Pengetahuan
dalam dunia pendidikan juga masih kurang untuk daerah Cirebon, pada zaman dulu
Cirebon lebih mengutamakan pendidikan agama dan tidak terlalau mementingkan
pendidikan formal. Tapi, sekarang pemerintah telah menyediakan berbagai
fasilitas pendidikan dalam jumlah yang cukup dan layak. Dari mulai TK, SD/MI,
SMP/MTs, SMA/SMK/MA, sampai universitas sudah tersedia. Sampai sekarang
pemerintah Cirebon sedang menggalakan sekolah berbasis Internasional.
Seiring
perkembangan zaman kini masyarakat cirebon mulai sadar akan kemajuan teknologi
dan sains
Pengetahuan
tentang teknologi sekarang pun sudah merajalela, internet pun sekarang mudah
diakses walaupun tidak sepenuhnya di seluruh pelosok Cirebon. Hal ini
memudahkan generasi muda untuk mengetahui dunia di luar lingkup Cirebon.
3. Sistem kekrabatan
Karna
masyarakat Cirebon adalah masyarakat pesisir yang banyak pendatang dari
berbagai daerah baik lokal maupun
internasional dan melakukan kegiatan dan hubungan dagang. Jadi mereka yang
datang dari mancanegara biasanya membentuk kampung-kampung sendiri dan kampung
tersebut pun diberi nama tersendiri berdasarkan negaranya masing-masing. Dari
cerita ini walaupun mereka terkesan seperti memisahkan diri tetapi sebenarnya
mereka saling membaur dengan masyarakat lokal cirebon dengan cara menikahi
orang pribumi. Masyarakat tidak mengenal perbedaan suku atau daerah mana. Mereka
terbuka dengan perbedaan tersebut. Buktinya sampai sekarang kampung-kampung
tersebut masih ada contoh, kampung arab, kampung cina dsb. Mereka menjalin
kekerabatan dengan baik tidak hanya dengan sesama masyarakat Cirebon tetapi
juga dari pendatang. Saling menghormati dan menghargai itulah kunci kekerabatan
yang sampai sekarang masih terjalin dengan baik.
Dalam
hal pernikahan kebanyakan masyarakat Cirebon lebih menginginkan untuk menikah
dengan orang luar jawa barat. Dengan alasan, menurut mereka orang jawa adalah
orang yang pekerja keras dan sayang dengan keluarga. Kekerabatan dalam rukun
tetangga juga terjalin dengan harmonis. Dibuktikan apabila ada suatu perayaan
mereka merayakan dengan suka cita dan hal yang baru agar tidak membosankan.
4. Sistem Peralatan Hidup
Sekarang
sudah banyak rumah-rumah yang memakai bahan material modern. Sudah banyak rumah
yang layak untuk disinggahi. Tetapi walau cover (rumah) mereka sudah modern,
kebanyakan peralatan yang masyarakat Cirebon gunakan masih menggunakan alat
tradisional. Misalnya dalam memasak nasi tidak memakai mekjijer, menyimpan air
dalam guci, menyimpan beras dalam guci, dsb. Sistem peralatan hidup bagi
masyarakat agraris misalnya petani dan nelayan. Mereka cenderung menetap
didaerah tempat tinggalnya, teknologi yang digunakan sudah cukup ada sentuhan
dari bantuan pemerintah Cirebon memfasilitasi para petani dalam menggunakan
traktor dan pembagian benih atau bibit secara gratis. Untuk masyarakat nelayan
sendiri mendapat bantuan bahan bakar yang digunakan untuk nelayan mencari ikan.
Tetapi masih ada masyarakat yang menggunakan cara tradisional, mereka cenderung
melestarikan cara manusal atau tradisional yang turun temurun dilakukan
semenjak masa nenek moyangnya.
5. Sistem Mata Pencaharian
Perekonomian
kota Cirebon di pengaruhi oleh letak geografis yang strategis dan karakteristik
sumber daya alam sehingga struktur perekonomiannya didominasi oleh sector
industry pengolahan, sector perdagangan, hotel, dan restoran, sector
pengangkutan dan komunikasi serta sector jasa. Di daerah pesisir selatan
cirebon, masyarakatnya bermatapencaharian sebagai nelayan, penambang batu bara,
sebagai awak kapal, dan sebagainya.Di daerah pegunungan atau daerah kabupaten
masyarakat bermata pencaharian sebagai petani, baik petani padi, ladang sayur
maupun buah.
Di
pusat kota sudah banyak pedagang kaki lima. Kelegkapan prasarana dan sarana
dasar kota Cirebon menjadi salah satu andalan bagi para investor dalam memilih
kota Cirebon sebagai tujuan utama penanaman modal di wilayah Jawa Barat bagian
timur atau untuk membuka cabang yang melayani Jawa Barat bagian Timur. Kondisi
ini menarik pula penduduk atau masyarakat luar kota. Cirebon tergolong ke dalam kategori daerah
yang cukup cepat bertranformasi dari tatanan ekonomi tradisional yang bertumpu
pada sector yang mengandalkan nilai tambah sumber daya manusia seperti industry
pengolahan, perdagangan dan jasa. Pertumbuhan jumlah perusahaan di kota Cirebon
dari tahun ketahun mengalami peningktan, hal ini bermplikasi pada pertambahan
lapangan kerja bagi masyarakatnya. Selain itu masyarakat cirebon kota bermata
pencaharian sebagai Pegawai Negri Sipil. Banyak masyarakat Cirebon yang
berusaha merantau ke luar Cirebon khususnya ke Jakarta.
6. Sistem religi atau kepercayaan
Masyarakat
Cirebon memiliki watak keagamaan yang relatif cukup taat, maka pesan-pesan
agama pun kerap membingkai kebudayaan Cirebon sendiri. Cirebon sebagai daerah
pantau Utara pulau Jawa bagian Barat dalam konteks sejarahnya terbukti mampu
melahirkan kebudayaan yang berangkat dari nilai tradisi dan agama.
Sebagai
kota pelabuhan dagang yang banyak disinggahi pedagang asing, kota Cirebon tidak
lepas menerima kedatangan masyarakat luar termasuk Tionghoa. Di Cirebon
masyarakat tionghoa tampak sudah sehak lama datang dan selanjutnya bermukim,
sehingga secara tidak langsung mereka juga menyiarkan agama mereka di Cirebon.
Terbukti terdapat beberapa klenteng sebagai tempat peribadatan masyarakat orang
Tionghoa penganut Buddhis.
Selain masyarakat cirebon yang di sekitar kraton
kesepuluh beragama Islam, dan masih percaya terhadap mittos dan lebih memiliki
nuansa spiritual dengan masuknya pesan-pesan ajaran agama. Unsur-unsur agama
Cirebon mengiringi kesenian (kebudayaan cirebon dalam kaitan ini kesenian yang
pada mulanya merupakan sarana dakwah agama Islam) menjadi semacam oase di
padang gurun. Masuknya doa-doa yang bersumber dari ajaran Islam manakala
masyarakat cirebon melakukan ritual budaya mitoni (upacara kehamilan tujuh
bulan anak pertama). Begitu pula kebiasaan dalang wayang kulit Cirebon
menyisipkan hadis Nabi Muhammad, bahkan ayat Suci Al-Qur’an ketika mendalang.
Sebuah kolaborasi menarik antara nilai kultur dengan nilai agama
Kebudayaan
lokal yang hidup sebelum kedatangan selain agama islam juga ada dari cina ini
juga terbuktu dari lamabang naga yang menjadi khas kebudayaan cina yang
terdapat pada kereta pusaka, motif hiasan panji dan batik yang bermotif naga.
Arsitek bangunan masjid mendapat pengaruh dan perpaduan antara Hindu dan Islam.
Tetapi secara keseluruhan notabane masyarakat Cirebon menganut agama Islam.
7. Sistem Kesenian
Cirebon
termasuk daerah yang juga memiliki banyak kesenian.
a. Tarling merupakan
kesenian khas dari wilayah Jawa Barat (jatibarang.Indramayu-Cirebon dan
sekitarnya. Bentuk kesenian ini pada dasarnya adalah pertunjukan musik, namun
disertai deengan drama pendek. Selanjutnya akibat tuntutan konsumenya sendiri,
lagu-lagu tarling dicampur dengan perangkat musik elektronik sehingga terbentuk
grup-grup oragan tunggal tarling organ. Pada saat ini, tarling sudah sangat
jarang dipertunjukakan dan tidak populer. Tarling dangdut lebih tepat disebut
dangdut Cirebon.
b. Sintren adalah salah satu
tradisi lama rakyat pesisirsn psntsi utara (pantura) Jawa Barat, tepatnya di
Cirebon. Kesenian ini kini menjadi sebuah pertunjukan yang langka bahkan di
daerah kelahiran Sintren sendiri. Sintren dalam perkembangannya kini,
paling-paling hanya dapat dinikmati setiap tahun sekali pada upacara-upacara
kelautan selain nadran, atau pada hajatan-hajatan orang gedean. Setiap diadakan
pertunjukan Sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya,
dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam
keadaan suci (perawan).
c. Tari topeng adalah salah
satu tari tradisional yang ada di Cirebon. Tari ini dinamakan tari topeng karna
ketika beraksi sang penari memakai topeng untuk menutupi wajahnya. Tari topeng
diciptakan oleh sultan Cirebon untuk melawan kesaktian Pangeran Welang.
d. Seni gembyung
merupakan slaah satu kesenian peninggalan para wali di Cirebon. Seni ini
merupakan pengembangan dari kesenian Terbang yang hidup di lingkungan
pesantren. Konon seperti halnya kesenian terbang , gembyung digunakan para wali
sebagai media untuk menyebarkan agama Islam seperti kegiatan acara Maulid Nabi,
Rajaban, dan kegiatan 1 syuro yang digelar di sekitar tempat ibadah. Untuk
pastinya kapan kesenian ini mulai berkembang di Cirebon tak ada yang tahu
pasti. Gembyung merupakan jenis musik ensambel yang didominasi oleh alat musik
yang disebut wadrita.
e. Lukisan kaca
konon dikenal sejak abad ke 17 masehi, bersamaan dengan perkembanganya agama
Islam di Pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Penambahan Ratu di Cirebon, Lukisan
kaca sangat terkenal sebagai media dakwah berupa lukisan Kaca Kaligrafi dan
Lukisan Kaca Wayang.
No comments:
Post a Comment