|
|
Permasalahan pemuda di Indonesia bukan
saja penting karena tantangan jumlahnya yang sedemikian besar, tetapi
pertanyaan mengenai dimana tantangan itu berlangsung, membutuhkan perhatian
tersendiri. Di Indonesia perkembangan penduduk yang cukup pesat diikuti pula
oleh tingkat urbanisasi yang tinggi. Kota Jakarta mengalami pertumbuhan
mendekati enam persen pertahun, yang berarti lebih dari dua kali tingkat
pertambahan penududuk di Indonesia.
Pemuda atau
generasi muda adalah konsep-konsep yang sering diberati oleh nilai-nilai. Hal
ini terutama disebabkan karena keduanya bukanlah semata-mata istilah ilmiah
tetapi sering lebih merupakan pengertian ideologis atau kulturil.[1] “Pemuda
harapan bangsa”, “Pemuda Pemilik Masa Depan”, atau “pemuda harus dibina” dan
sebagainya, memperlihatkan betapa saratnya nilai yang telah terlekat pada
“pemuda” tersebut. Hal ini telah umum
disadari. Sebab itu aspek obyektif dari hal-hal tersebut – perumusan
berdasarkan patokan riil yang bisa diperhitungkan, seperti kesamaan umur – aspek
subyektif – perumusan yang bersumber kepada arti yang diberikan oleh masyarakat
–diperhitungkan. Dari sudut kependudukan, yang terpantul pula dalam statitik
dan ekonomi, lebih ditekankan pada pembagian umur 15 dan 25 tahun sering
dihitung sebagai pemuda. Sedangkan sosiologi dan sejarah lebih menekankan
kepada nilai subyektif –kepemudaan dirumuskan berdasarkan tanggapan masyarakat
dan kesamaan pengalaman historis. Dalam hal ini maka ilmu-ilmu tersebut juga
dibantu oleh psikologi ynag memperkirakan periode pertumbuhan kepribadian, yang
sangat erat pula hubungannya dengan latar belakang kebudayaan. Namun pada
dasarnya pengertian-pengertian ini saling mengisi dan saling memperhatikan.
Konflik generasi,
generasi muda lebih sedikit punya kepentingan terhadap berlanjutnya dasar
strukturil sosial yang lama. tentu saja bisa diduga bahwa semakin melebarnya
jaringan sosial yang lama. Tentu saja bisa diduga bahwa makin melebarnya
jaringan sistim sosialisasi yang terwujud lembaga-lembaga pendidikan atau
sekolah, maka “rasa kesesuaian” atau “rasa kesamaan” pun makin meluas pula.
Walaupun masalah generasi muda dan pemuda boleh dikatakan sifatnya universil,
dalam arti bahwa dengan intensitas yang berbeda-beda bisa terdapat dimana-mana
dan pada sembarang zaman, namun perkembangan teknologi yang pesat mempertinggi
keseringan terjadinya.
Dalam khasanah
ilmu penididkan dan psikologi, remaja bukan merupakan topik yang baru, malah
semur dengan ilmu-ilmu itu sendiri. Pada masa yunani kuno, terkenal kasus ahli
fikir Sokrates yang dituduh merusak jiwa pemuda yang masih rawan sehingga
dianggap berbahaya bagi tata hidup masyarakat. Ajaran-ajarannya pada masa itu
dinilai sebagai racun bagi jiwa pemuda yang masih labil sehingga mudah
dislewengkan. Pada penghujung abad kesembilan belas dan permulaan abad ke
duapuluh muncullah tafsiran-tafsiran psikologis mengenai masa remaja, dimulai
dengan apa yang disebut masa pancaroba atau masa puber yang dicap dengan
istilah Charlotte Buhler sebagai masa “Strum und Drang”.
Pendekatan-pendekatan
dari segi pedagogis dan psikologis ditandai dengan satu sifat : Pemuda identik
dengan pemberontakan; berani tetapi pendek akal; dinamik tetapi sering kali
hantam kromo. Penuh gairah tetapi sering kali berbuat aneh-aneh. Pendek kata
pemuda dan kepemudaan sama dengan romantik. Masa yang menarik tetapi juga yang
perlu dikasihani, setidaknya dari kaca mata orang dewasa. Kepemudaan merupakan
suatu fase perkembangan dalam periode pertumbuhan biologis seseorang yang
bersifat seketika, dan sekali waktu akan hilang dengan sendirinya sejalan
dengan hukum biologis itu sendiri: manusia tidak dapat melawan proses ketuaan.
Dan keanehan-keanehan masa pemuda akan menghilang secara pasti, merayap dan
akan dilalap oleh lipatan-lipatan masa.
Menurut pendekatan
Optimisme biologis pemuda dianggap sebagai suatu kelompok yang terbuang dari
kawanan manusia yang “normal” dengan suatu subkultur tersendiri. Munculah
istilah-istilah seram mengenai pemuda sebaagai suatu kelompok yang mempunyai
aspirasi sendiri yang bertentangan sengan aspirasi masyarakat atau lebih tepat
aspirasi orang tua atau generasi tua.
Pandangan atau
konsep pendekatan masalah pemuda dewasa ini kebanyakan bertitik tolak dari
pendekatan pedagogis yang menganggap pemuda sebagai sekelompok manusia yang
menarik perhatian atau boneka yang perlu ditonton dan kadang-kadang agak binal.
Oleh sebab itu pula konsep-konsep yang dilahirkan adalah usaha-usaha untuk
menanggulangi kebinalan pemuda seperti kenakalan remaja agresif seperti tawuran
atau mencelakai teman dan diirnya sendiri.
Selanjutnya
munculah persoalan-persoalan frustasi dan kecemasan pemuda karena
keinginan-keinginan mereka tidak sejalan dengan kenyataan. Dalam hubungan ini
kemungkinan akan timbul konflik dalam berbagai bentuk protes, baik yang terbuka
maupun yang terselubung. Dalam istilah yang lebih konteporer, gejala
bergejolaknya pemuda disebut gerakkan mencari identitas pemuda.
Usia pemuda sama
dengan remaja dipandang sebagai usia bermasalah, karena pada masa ini remaja
dihadapkan pada banyak persoalan dan cenderung dihadapi secara emosional. Tidak
terpenuhinya tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan
kelebihan energinya ke arah yang negatif (perilaku agresif). Setiap periode
mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi
masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun perempuan. Namun
tidak semua remaja tidak bisa mengatasi masalahnya sendiri, namun benar juga
bila sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu
sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri dari pada pola perilaku baru
dan harapan sosial yang baru.
Remaja
diharapkan mengganti konsep-konsep moral berlaku khusus dimasa kanak-kanak
dengan prinsip moral yang berlaku umum dan merumuskannya kedalam kode moral
yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Tidak kalah pentingnya,
remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi
tanggung jawab orang tua dan guru. Apabila remaja tidak dapat memenuhi
kebutuhannya maka ia akan rentan berperilaku agresif, dan banyak lagi faktor
yang mungkin mempengaruhi atau berhubungan dengan kecenderungan remaja
berperilaku agresif. Remaja yang berperilaku agresif sangat merugikan banyak
pihak, dirinya sendiri maupun orang lain. Di Indonesia protet remaja berperilaku
agresif sangatlah banyak. Disinilah tugas kita sebagai calon pendidik harus
mengetahui tentang kondisi remaja di negara kita agar kita dapat mengatasi
permasalahan ini.
Mengapa
remaja bertingkah laku agresif, bahkan seakan-akan makin tidak terkendali ?
apakah karena tempat tinggal ataupun lingkungan masyarakat dan sekolah memang
memungkinkan untuk berperilaku negatif ? Bagaimana kualitas hubungan antara
remaja dengan orang tua, bagaimana remaja diperlakukan oleh orang tuanya
sendiri dirumah ? proses perkembangan yang bagaimana yang dilalui ?
