Monday, 19 May 2014

Agresivitas Remaja Indonesia *Pembukaan







Agresivitas Remaja Indonesia merupakan salah satu judul buku yang dibuat oleh saya sendiri Vina Andriyanah dan kedua teman kelompok saya Eri Diana S dan Rini Nopiyanti sebagai salah satu pemenuhan tugas Model-model Pembelajaran pada semester 2, saya akan berbagi isi dari buku tersebut semoga bermanfaat :)

 

Permasalahan pemuda di Indonesia bukan saja penting karena tantangan jumlahnya yang sedemikian besar, tetapi pertanyaan mengenai dimana tantangan itu berlangsung, membutuhkan perhatian tersendiri. Di Indonesia perkembangan penduduk yang cukup pesat diikuti pula oleh tingkat urbanisasi yang tinggi. Kota Jakarta mengalami pertumbuhan mendekati enam persen pertahun, yang berarti lebih dari dua kali tingkat pertambahan penududuk di Indonesia.

Pemuda atau generasi muda adalah konsep-konsep yang sering diberati oleh nilai-nilai. Hal ini terutama disebabkan karena keduanya bukanlah semata-mata istilah ilmiah tetapi sering lebih merupakan pengertian ideologis atau kulturil.[1] “Pemuda harapan bangsa”, “Pemuda Pemilik Masa Depan”, atau “pemuda harus dibina” dan sebagainya, memperlihatkan betapa saratnya nilai yang telah terlekat pada “pemuda” tersebut.  Hal ini telah umum disadari. Sebab itu aspek obyektif dari hal-hal tersebut – perumusan berdasarkan patokan riil yang bisa diperhitungkan, seperti kesamaan umur – aspek subyektif – perumusan yang bersumber kepada arti yang diberikan oleh masyarakat –diperhitungkan. Dari sudut kependudukan, yang terpantul pula dalam statitik dan ekonomi, lebih ditekankan pada pembagian umur 15 dan 25 tahun sering dihitung sebagai pemuda. Sedangkan sosiologi dan sejarah lebih menekankan kepada nilai subyektif –kepemudaan dirumuskan berdasarkan tanggapan masyarakat dan kesamaan pengalaman historis. Dalam hal ini maka ilmu-ilmu tersebut juga dibantu oleh psikologi ynag memperkirakan periode pertumbuhan kepribadian, yang sangat erat pula hubungannya dengan latar belakang kebudayaan. Namun pada dasarnya pengertian-pengertian ini saling mengisi dan saling memperhatikan.

Konflik generasi, generasi muda lebih sedikit punya kepentingan terhadap berlanjutnya dasar strukturil sosial yang lama. tentu saja bisa diduga bahwa semakin melebarnya jaringan sosial yang lama. Tentu saja bisa diduga bahwa makin melebarnya jaringan sistim sosialisasi yang terwujud lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah, maka “rasa kesesuaian” atau “rasa kesamaan” pun makin meluas pula. Walaupun masalah generasi muda dan pemuda boleh dikatakan sifatnya universil, dalam arti bahwa dengan intensitas yang berbeda-beda bisa terdapat dimana-mana dan pada sembarang zaman, namun perkembangan teknologi yang pesat mempertinggi keseringan terjadinya.

Dalam khasanah ilmu penididkan dan psikologi, remaja bukan merupakan topik yang baru, malah semur dengan ilmu-ilmu itu sendiri. Pada masa yunani kuno, terkenal kasus ahli fikir Sokrates yang dituduh merusak jiwa pemuda yang masih rawan sehingga dianggap berbahaya bagi tata hidup masyarakat. Ajaran-ajarannya pada masa itu dinilai sebagai racun bagi jiwa pemuda yang masih labil sehingga mudah dislewengkan. Pada penghujung abad kesembilan belas dan permulaan abad ke duapuluh muncullah tafsiran-tafsiran psikologis mengenai masa remaja, dimulai dengan apa yang disebut masa pancaroba atau masa puber yang dicap dengan istilah Charlotte Buhler sebagai masa “Strum und Drang”.

Pendekatan-pendekatan dari segi pedagogis dan psikologis ditandai dengan satu sifat : Pemuda identik dengan pemberontakan; berani tetapi pendek akal; dinamik tetapi sering kali hantam kromo. Penuh gairah tetapi sering kali berbuat aneh-aneh. Pendek kata pemuda dan kepemudaan sama dengan romantik. Masa yang menarik tetapi juga yang perlu dikasihani, setidaknya dari kaca mata orang dewasa. Kepemudaan merupakan suatu fase perkembangan dalam periode pertumbuhan biologis seseorang yang bersifat seketika, dan sekali waktu akan hilang dengan sendirinya sejalan dengan hukum biologis itu sendiri: manusia tidak dapat melawan proses ketuaan. Dan keanehan-keanehan masa pemuda akan menghilang secara pasti, merayap dan akan dilalap oleh lipatan-lipatan masa.

Menurut pendekatan Optimisme biologis pemuda dianggap sebagai suatu kelompok yang terbuang dari kawanan manusia yang “normal” dengan suatu subkultur tersendiri. Munculah istilah-istilah seram mengenai pemuda sebaagai suatu kelompok yang mempunyai aspirasi sendiri yang bertentangan sengan aspirasi masyarakat atau lebih tepat aspirasi orang tua atau generasi tua.

Pandangan atau konsep pendekatan masalah pemuda dewasa ini kebanyakan bertitik tolak dari pendekatan pedagogis yang menganggap pemuda sebagai sekelompok manusia yang menarik perhatian atau boneka yang perlu ditonton dan kadang-kadang agak binal. Oleh sebab itu pula konsep-konsep yang dilahirkan adalah usaha-usaha untuk menanggulangi kebinalan pemuda seperti kenakalan remaja agresif seperti tawuran atau mencelakai teman dan diirnya sendiri.

Selanjutnya munculah persoalan-persoalan frustasi dan kecemasan pemuda karena keinginan-keinginan mereka tidak sejalan dengan kenyataan. Dalam hubungan ini kemungkinan akan timbul konflik dalam berbagai bentuk protes, baik yang terbuka maupun yang terselubung. Dalam istilah yang lebih konteporer, gejala bergejolaknya pemuda disebut gerakkan mencari identitas pemuda.

Usia pemuda sama dengan remaja dipandang sebagai usia bermasalah, karena pada masa ini remaja dihadapkan pada banyak persoalan dan cenderung dihadapi secara emosional. Tidak terpenuhinya tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan energinya ke arah yang negatif (perilaku agresif). Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun perempuan. Namun tidak semua remaja tidak bisa mengatasi masalahnya sendiri, namun benar juga bila sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri dari pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru.

Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral berlaku khusus dimasa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan merumuskannya kedalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Tidak kalah pentingnya, remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru. Apabila remaja tidak dapat memenuhi kebutuhannya maka ia akan rentan berperilaku agresif, dan banyak lagi faktor yang mungkin mempengaruhi atau berhubungan dengan kecenderungan remaja berperilaku agresif. Remaja yang berperilaku agresif sangat merugikan banyak pihak, dirinya sendiri maupun orang lain. Di Indonesia protet remaja berperilaku agresif sangatlah banyak. Disinilah tugas kita sebagai calon pendidik harus mengetahui tentang kondisi remaja di negara kita agar kita dapat mengatasi permasalahan ini.

Mengapa remaja bertingkah laku agresif, bahkan seakan-akan makin tidak terkendali ? apakah karena tempat tinggal ataupun lingkungan masyarakat dan sekolah memang memungkinkan untuk berperilaku negatif ? Bagaimana kualitas hubungan antara remaja dengan orang tua, bagaimana remaja diperlakukan oleh orang tuanya sendiri dirumah ? proses perkembangan yang bagaimana yang dilalui ?


[1] LP3ES. Pemuda dan perubahan sosial. (Jakarta: 1987).hal. 1